a. Ushul Fiqh di Masa Periode Nabi Muhammad SAW
Pada masa Rasulullah masih hidup sesungguhnya konsep-konsep ushul
fiqh banyak ditemukan walaupun masih dalam konsep sederhana mengingat
pada waktu itu hal tersebut belum dibukukan.
Ada beberapa contoh yang bisa menjadi sedikit gambaran:
1. Ijtihad: Ketika 2 orang sahabat yang bepergian, tatkala waktu sholat tiba,
mereka tidak menemukan air wudhu dan kemudian bertayamum dengan debu
yang suci. Lalu mereka menemukan air ketika sholat belum habis, dan seorang
diantara mereka mengambil wudhu untuk mengulang sholatnya sedangkan
yang satunya lagi tidak. Lalu setelahnya mereka bertanya pada Nabi SAW, lalu
beliau menjawab kepada yang tidak mengulang bahwa sholatnya telah
mencukupi, dan kepada yang mengulang dia mendapat dua pahala
Kesimpulan : Rasulullah membenarkan dua macam hasil ijtihad sahabatnya.
2. Qiyas : Ketika ada perempuan yang datang ke nabi yang bercerita tentang
ibunya yang meninggal dan meninggalkan hutang puasa satu bulan, nabi tidak
menjawab ya atau tidak untuk dibayarkan, tetapi beliau mengqiyaskan
terhadap utang piutang, utang puasa orang tua yang sudah meninggal
disamakan dengan utang piutang harta.
Kesimpulan : Peristiwa tersebut dikemudian hari menjadi bentuk dasar Qiyas,
yang oleh Imam Syafi’I prosedurnya dibakukan.
3. Tempat jauh dari nabi : Tidak semua sahabat bisa merujuk langsung kepada
nabi, Muaz bin Jabal diantaranya, Nabi SAW membenarkan ijtihad Muaz dalam persoalan-persoalan yang tidak bisa ditemui ketentuannya dalam Al-
Qur’an dan As-Sunnah.
b. Ushul Fiqh Dimasa Para Sahabat
Pada masa ini kajian tentang fiqh mulai dirumuskan, yaitu setelah
wafatnya Rasulullah SAW. Sebab pada masa hidupnya Rasulullah SAW,
semua persoalan hukum yang timbul diserahkan kepada Beliau. Meskipun
satu atau dua kasus hukum yang timbul terkadang disiasati para sahabat Beliau
dengan ijtihad , tetapi hasil akhir dari ijtihad tersebut, dikembalikan kepada
Rasulullah SAW. Hal ini karena Rasulullah SAW adalah satu-satunya
pemegang otoritas kebenaran Agama, melalui wahyu yang diturunkan kepada
Beliau.
Pada Periode Sahabat, dalam melakukan ijtihad untuk melahirkan
hukum, pada hakikatnya para sahabat menggunakan ushul fiqh sebagai alat
untuk berijtihad. Hanya saja, ushul fiqh yang mereka gunakan baru dalam
bentuknya yang paling awal, dan sebelum banyak terungkap dalam rumusan-
rumusan sebagaimana yang kita kenal sekarang. Contoh cikal bakal ilmu ushul
fiqh yang terdapat pada masa Rasulullah SAW dan masa sahabat, antara lain
berkaitan dengan ketentuan urutan penggunaan sumber dan dalil hukum,
sebagai bagian dari ushul fiqh.
Langkah-langkah yang ditempuh para sahabat apabila menghadapi
persoalan hukum ialah menelusuri ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang
masalah tersebut. Apabila tidak ditemukan hukumnya dalam Al-Qur’an maka
merke mencarinya di dalam sunnah. Apabila didalam sunnah pun tidak
ditemukan barulah mereka berijtihad.
c. Ushul Fiqh di Masa Periode Tabi’in
Masa Tabi’in adalah masa sesujdah masa para sahabat, yang sebelumnya
para Tabi’in ini belajar kepada para sahabat. Pada masa ini Islam sudah mulai
menyebar di berbagai kawasan yang cukup jauh dari wilayah ketika nabi dan
para sahabat menetap diantaranya : Nafi, Ikrimah, Atha’ bin Rabbah
(Makkah), Thawus (Yaman), Ibrahim Al-Nakh’ai (Kuffah), Hasan Al-Basri
dan Ibnu Sirrin (Basrah).
Luasnya wilayah ini di masa Tabi’in akan menjadi salah satu unsur
penting dalam dasar pemikiran penetapan hukum dan mempengaruhi pola
pemikiran penetapan hukum.Yang akhirnya ada beberapa penyimpangan diantaranya:
Pemalsuan Hadist
Perbedaan pendapat tentang ra’yu yang melahirkan kelompok Iraq (al-
Ra’yu) dan kelompok Madinah. (Ahl al-Hadist).
Selain hal tersebut diatas, lahirnya tokoh hukum baru dari kalangan non
Arab, semakin menambah berbagai pehamaman dasar pemikiran dan
perbedaan pendapat yang cukup tajam, yang kemudiab memunculkan
madzhab-madzhab hukum Islam, yang masing-masing memilki metode
sendiri yang saling berbeda dengan yang lainnya.
d. Ushul Fiqh di Masa Iman Madzhab
Pada masa Tabi’in, tabi’in-tabi’in dan para imam mujtahid, disekitar abad
II dan III Hijiriah wilayah kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas,
sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan bangsa
Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragama pula situasi dan kondisi serta
adat istiadatnya. Dengan semakin tersebarnya agama Islam dikalangan
penduduk dari berbagai daerah tersebut, menjadikan semakin banyak
persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak didapati ketetapan
hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Untuk itu para ulama yang
tinggal di berbagai daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya. Karena
banyaknya persoalan-persoalan hukum yang timbul dan karena pengaruh
kemajuan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang yang berkembang dengan
pesat yang terjadi pada masa ini, kegiatan ijtihad ini mencapai kemajuan yang
besar dan lebih bersemarak.
Pada masa ini juga semakin banyak terjadu perbedaan dan perdebatan
antara para ulama yang mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang
ditempuhnya. Perbedaan dan perdebatan tersebut, bukan saja antara ulama
satu daerah dengan daerah yang lain, tetapi juga antara para ulama yang sama-
sama tinggal dalam satu daerah. Kenyataan-kenyataan diatas mendorong para
ulama untuk menyusun kaidah-kaidah syari’ah yakni kaidah-kaidah yang
bertalian dengan tujuan dan dasar-dasar syara’ dalam menetapkan hukum
dalam berijtihad.
Demikian pula dengan semakin luasya daerah kekuasaan Islam dan
banyknya penduduk yang bukan bangsa Arab memeluk agama Islam. Maka
terjadilah pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka. Dari pergaulan
antara orang-orang Arab dengan mereka itu membawa akibat terjadinya
penyusupan bahasa-bahasa mareka ke dalam bahasa Arab, baik berupa ejaan,kata-kata maupun dalam susunan kalimat, baik dalam ucapan maupun tulisan.
Keadaan yang demikian itu, tidak sedikit menimbulkan keraguan dan
kemungkinan kemungkinan dalam memahami nash-nash syara’. Hal ini
mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah lughawiyah (bahasa),
agar dapat memahami nash-nash syara sebagaimana dipahami oleh orang-
orang Arab sewaktu turun atau datangnya nash-nash tersebut.
B. Latar Belakang Terbentuk dan Tumbuh Berkembangnya Ilmu
Ushul Fiqh
Ilmu Ushul Fiqh, lahir sejak abad ke-2 H. Ilmu tersebut, pada abad
pertama Hijriyah memang tidak diperlukan karena keberadaan Rasulullah
SAW. Masih bisa mengeluarkan fatwa dan memutuskan suatu hukum
berdasarkan ajaran Al-Qur’an, sunnah dan apa yang diwahyukan kepada
beliau. Disamping itu secara fithri, ijtihad Rasl tidak memerlukan Ushul dan
kaidah-kaidah yang dijadikan sebagai istinbat dan ijtihad. Begitu pula dengan
para sahabat, mereka memberikan fatwa hukum dan memutuskan suatu
keputusan berdasarkan pada nash-nash yang dipahami lantaran kemampuan
potensial mereka dibidang bahasa arab yang benar, tanpa memerlukan kaidah-
kaidah bahasa yang dapat dijadikan sebagai dasar pemahaman nash. Para
sahabat juga melakukan istinbat terhadap hukum yang tidak ada nashnya
berdasarkan kemampuan potensial mereka dalam membina hukum syariat
Islam yang terpusat di dalam jiwa mereka yang disebabkan akrabnya mereka
dengan Rasulullah di dalam pergaulan. Selain itu, para sahabat juga ikut
menyaksikan sebab-sebab turunnya Al-Qur’an dan sebab-sebab
dikeluarkannya hadist, serta memahami maksud dan tujuan syari’ (pembuat
hukum, yakni Allah) disamping prinsip-prinsip pembentukan hukum Islam.
Demikian setelah waktu lama dari awal pembentukan hukum Islam,
banyak terjadi perdebatan antara Ahli Hadist dan Ahli Ra’yu. Banyak juga
orang yang hanya berdasarkan keberanian mengeluarkan suatu hujjah yang
tidak pantas sebagai hujjah, bahkan menolak hujjah yang sebenarnya. Kondisi
ini mendorong peletakan batasan-batasan dan bahasa tentang dalil syar’iyyah
dan syarat-syarat atau cara menggunakan dalil-dalil. Seluruh pembahasan tentang
penggunaan dalil, batasan-batasan atau kaidah-kaidah bahasa ini yang disebut sebagai
imu ushul fiqh.
Namun, ilmu tersebut tumbuh dalam kondisi yang sangat sederhana.
Kemudian, secara bertahap ilmu tersebut tumbuh semakin meningkat
sehingga mencapai usia 200 tahun. Sejak itu, mulailah ilmu itu berkembang dengan pesatnya, tersebar dan memencar bersama berkembangnya hukum
fiqh, sebab setiap Imam mujtahid, baik Imam yang empat atau yang lainnya,
selalu memberi petunjuk dengan dalil hukum yang disertai dengan Ilmu Ushul
Fiqh dan arahan pengambilan dalil dengan ilmu itu juga. Sedang para mujtahid
yang tidak menggunakan cara tersebut, berarti telah membuat hujjah dengan
jalan yang menyimpang. Padahal, semua pengambilan dalil dan penggunaan
hujjah selalu mengandung kaidah-kaidah Ushul.
Orang pertama yang menghimpun kaidah-kaidah yang berserakan itu,
ialah Iman Abu Yusuf, seorang pengikut setia Imam Abu Hanifah. Hal ini,
dikatakan oleh Ilmu Nadim dalam kitabnya yang bernma Al Fahrasat. Namun
yang sangat disayangkan catatan –catatan tersebut tidak sampai ke tangan kita.
Oleh ahli ushul fiqh dianggap yang pertama mengumpulkan dan menyusun
ilmu ini adalah Imam Syafi’i dalam kitabnya yang bernama Ar-Risalah. Dan
setelah itu, muncullah para penulis lain yang melengkapi dan
menyempurnakannya seperti Imam Ghazali dalam kitabnya yang bernama
Al-Mustasyfa, Al-Amidi dalam kitabnya yang bernama AL-Minhaj yang
disyararkan oleh Asnawi.
Dari kalangan madzhab Hanafi yang terkenal Abu Zaid Al Dabbas dalam
kitabnya yang bernama Ushul, Fadhul Islam Al-Badhawi dalam kitabnya yang
bernama Ushul dan Nasafi dalam kItabnya yang bernama AL Manar.
Disamping itu lahirlah pula kitab yang bernama Badi’un Nizam Al Jami Baina
Badzawi wal’itisom oleh Muzafaruddin AL-Baghdadi Al Hanafi, kitab tafsir
oleh Kamal bin Humam dan kitab Jam’ul Jawani oleh Ibnu Subki. Di abad
sekarang ini ada pula beberapa buah kitab yang ditulis oleh beberapa ulama’,
diantaranya kitab Irsyadul Fuluh oleh Syaukani, kitab Ushul Fiqh oleh Hudari
Bek, kitab Tahsilul Wushul oleh Muhammad Abdurrahman Mahlawi. Dan
masih banyak kitab-kitab Ushul Fiqh yang lainnya.
C. Peletak Dasar Ilmu Ushul Fiqh
Imam Syafi’i merupakan penyusun ilmu ushul fiqh secara sistematis ilmu
fikqhnya terpadukan dengan hadist. Muhammad AL-Hasan, salah seorang
gurunya. Mengatakan, jika para ahli hadist bercakap-cakap maka percakapan
mereka sesungguhnya melalui lidah Imam al-Syafi’i. Ilmu percakapan mereka
sesungguhnya melalui lidah Imam Al-Syafi’i. Ilmu fikihnya terpadukan
dengan hadis. Beliau pernah mengatakan untuk para ulama mujtahid. Jika ada
hadist shahih, maka itu madzhabku. Ucapan yang ditujukan kepada ulama
mujtahid madzhab ini menunjukkan kepada para ulama bahwa Imam Syafi’i
sangat memperhatikan posisi hadist. Kaidah-kaidah fiqh tidak lepas dari Al-
Qur’an dan Al-Hadist.
Imam Syafi’i dilahirkan di Bumi Palestina. Tepatnya dikota Gazza pada
tahun 105 H. Ia seorang keturunan Bani Quraisy. Nasabnya bertemu dengan
Rasulullah SAW. Rantai silsilahnya adalah, Abu Abdullah bin Idris bin Al-
Abbas Ustman bin Syafi’i bin Al-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim
bin Al-Muttalib bin Abdul Manaf. Dikisahkan, bahwa Imam Syafi’i dilahirkan
pada malam Imam Abu Hanifah meninggal dunia. Seorang iman meninggal
dunia dan saat itu pula lahir seorang iman yang lain. Imam al-Syafi’i lahir dari
keluarga tidak mampu di Palestina. Mereka hidup didalam perkampungan
yang mayoritas dihuni oleh orang-orang Yaman. Ayahnya meninggal dunia
ketika beliau masih kecul.
Sejak kecil beliau sudah mendalami bahasa Arab dan gramatikanya. Karena
itu, ia pernah tinggal bersama suku Huzail selama 10 tahun untuk mempelajari
bahasa. Suku Huzaili terkenal sebagai suku yang paling baik bahasa Arabnya.
Imam Al-Syafi’i banyak menghafal banyak syair fan kasidah dari Bani Huzail
ini. Beliau mengembara ke berbagai negeri untuk mempelajari Islam. Pertama
ke Makkah, Madinah, Irak dan Yaman. Salah satu guru besar utamanya adalah
Imam Malik. Kepada Imam Malik beliau belajar langsung di Madinah hingga
Imam Malik meninggal dunia.
Guru-gurunya yang lain adalah dari Makkah: Muslim bin Khalid al-Zinji,
Sufyan bin Uyainah, Said bin Al-Kudah, Daud bin Abdurrahman, Al-Attar
dan Abdul Hamid bin Abdul Aziz bin Muhammad al-Dawardi, Ibrahim bin
Yahya al-Usami, Muhammad Said bin Abi Fudaik dan Abdullah bin Nafi’ al-
Saigh di Yaman: Matraf bin Mazin, Hisyam bin Yusuf, Umar bin Abi
Maslamah dan Abi Laith bin Sa’ad.
Dari Irak: Muhammad bin Al-Hasan, Waki’ bin al-Jarrah al-Kufi,Abu Usamah
hamad bin Usamah, Ismal bin Attlah Al-Basri dan Abdul Wahhab bin Abdul
Masjid Al-Basri.
No comments:
Post a Comment