Pengertian Maqhosid al-Syari’ah
Ditinjau dari segi bahasa, kata maqashid merupakan jama‟ dari kata maqshid
yang berarti kesulitan dari apa yang ditujukan atau dimaksud. Secara akar bahasa
maqashid berasal dari kata qashada, yaqshidu, qashdan, qashidun, yang berarti
keinginan yang kuat, berpegangteguh, dan sengaja. Dalam kamus Arab-Indonesia, kata
maqshid diartikan dengan menyengaja atau bermaksud kepada (qashada ilaihi).
Sedangkan kata syari‟ah adalah mashdar dari kata syar‟ yang berarti sesuatu
yang dibuka untuk mengambil yang ada di dalamnya, dan syari‟ah adalah tempat
yang didatangi oleh manusia atau hewan untuk minum air. Selain itu juga berasal dari
akar kata syara‟a, yasyri‟u, syar‟an yang berarti memulai pelaksanaan suatu
pekerjaan. Kemudian Abdur Rahman mengartikan syari‟ah sebagai jalan yang harus
diikuti atau secara harfiah berarti jalan ke sebuah mata air
Sementara itu, Al-Syatibi mengartikan syari‟ah sebagai hukum- hukum Allah
yang mengikat atau mengelilingi para mukallaf, baik perbuatan-perbuatan,
perkataan-perkataan maupun i‟tiqad-i‟tiqad-nya secara keseluruhan terkandung di
dalamnya.
Dengan menggabungkan kedua kata di atas, maqashid dan syari‟ah, serta
mengetahui arti secara bahasa, maka secara sederhana maqashid al-syari‟ah dapat
didefinisikan sebagai maksud atau tujuan Allah dalam mensyariatkan suatu hukum.
Sedangkan menurut istilah, maqashid al-syari‟ah dalam kajian tentang hukum
Islam, al-Syatibi sampai pada kesimpulan bahwa kesatuan hukum Islam berarti
kesatuan dalam asal-usulnya dan terlebih lagikesatuan dalam tujuan hukumnya.
Untuk menegakkan tujuan hukum ini, al-Syatibi mengemukakan konsepnya tentang
maqashid al syari‟ah, dengan penjelasan bahwa tujuan hukum adalah satu yakni
kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.
Maqashid al Syari‟ah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan
hukum-hukum Islam. Tujuan itu dapat dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Qur‟an
dan Sunnah Rasulullah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang
berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.
Dengan demikian, semakin jelaslah bahwa, baik secara bahasa maupun
istilah, maqashid al syari‟ah erat kaitannya dengan maksud dan tujuan Allah yang
terkandung dalam penetapan suatu hukum yang mempunyai tujuan untuk
kemaslahatan umat manusia.
B. Ulama dan Perkembangan Maqhosid al-Syari’ah
Sejak wafat al-Syatibi, kajian Maqashid Syariah mengalami kemandekan. Setelah
itu belum ditemukan lagi karya original tentang Maqashid Syariah. Kajian ini mulai
diperbincangkan lagi pada abad 19. Muhammad Abduh, ulama dari Mesir, termasuk
tokoh pertama yang mempopulerkan nama al-Syatibi, dan meminta kepada
murid-muridnya untuk mengkaji, mentahqiq, dan mempublikasikan kitab al-Muwafaqat karya al-SyatibiPermintaan Muhammad Abduh itu disambut baik
beberapa tokoh di Tunisia. Kitab al-Muwafaqat diterbitkan ulang pertama kali di
Tunisa tahun 1302 H. Pandangan Abduh tentang pentingnya Maqashid Syari’ah
mempengaruhi Al-Thahir Ibnu Asyur untuk mendalami kajian ini. Bila Al-Syatibi
dianggap guru pertama (mu’allim al-awwal) dalam kajian Maqashid Syari’ah, Ibnu
Asyur dapat dikatakan sebagai guru kedua (Mu’allim al-Tsani).
2
Ibnu Asyur menulis buku berjudul Maqashid Syari’ah Islamiyyah. Buku ini
sangat kontroversi, karena Ibnu Asyur mengkritik keras Ushul Fikih. Bahkan, penulis
tafsir Tahrir wa Tanwir ini menganggap Ushul Fikih sudah tidak relevan dan tidak
perlu digunakan lagi. Bangunan pemikiran Ushul Fikih yang berkembang lebih fokus
pada kajian kebahasaan dan melupakan substansi dari hukum Islam itu sendiri.
Abdullah Darraz dalam pengantarnya tarhadap kitab al-Muwafaqat menegaskan
ushul fikih itu sebetulnya ada dua bagian: ilmu kebahasaan dan ilmu rahasia/tujuan
syariat (asrar syariat), tapi sayangnya yang berkembang justru yang pertama,
sementara kajian yang kedua (ilmu asrar syariat) tidak terlalu diperhatikan.
Karena itu, menurut Ibnu Asyur kajian Ushul Fikih perlu diganti dengan
Maqashid Syariah. Kajian Maqashid Syariah harus dipisahkan dari Ushul Fikih dan
berdiri sendiri agar semakin berkembang. Maqashid Syariah tidak sekedar teori
Ushul Fikih, lebih dari itu, Maqashid Syariah dapat dikatakan sebagai ilmun
mustaqilllun (ilmu yang berdiri sendiri).
Pemikiran Ibnu Asyur ini berkontribusi besar terhadap kemunculan tokoh dan
pengkaji Maqashid Syariah di era kontemporer. Di antara ulama kontemporer yang
mengembangkan kajian ini adalah Allal Alfasi, Thaha Jabir al-Ulwani, Yusuf
al-Qaradhawi, Hashim Kamali, Ahmad Raysuni, Abdul Madjid al-Najjar, Jasser Auda,
dan lain-lain.
C. Urgensi Maqhosid al-Syari’ah
Adapun urgensi maqashid syariah, khususnya bagi seorang mujtahid, ahli hukum
Islam atau peneliti, Muhammad az-Zuhaili merangkumnya menjadi lima poin berikut,
yaitu
Pertama, maqashid bisa dijadikan alat bantuan bagi mereka untuk mengetahui
hukum syariah, baik yang bersifat universal (kulliyyah) maupun parsial (juz’iyyah),
dari dalil-dalil yang pokok dan cabang.
Kedua, maqashid dapat membantu mereka dalam memahami teks-teks syariat dan
menginterpretasikannya dengan benar, khususnya dalam tataran implementasi teks
ke dalam realitas.
Ketiga, maqashid dalam membantu mereka dalam menentukan makna yang
dimaksud oleh teks secara tepat, khususnya ketika berhadapan dengan lafazh yang
memiliki lebih dari satu makna.
Keempat, ketika tidak mendapati problematika atau kasus kontemporer yang tidak
ditemukan teks berbicara tentangnya, mujtahid atau ahli hukum Islam bisa merujuk
ke maqâshîd syari’ah dengan menetapkan hukum melalui ijtihad, qiyas, istihsan,
istishlah dan lain sebagainya sesuai dengan ruh, nilai-nilai agama, tujuan dan
pokok-pokok syariat.
Kelima, maqashid syariah dapat membantu seorang mujtahid, hakim dan ahli
hukum Islam dalam melakukan tarjih dalam masalah hukum Islam ketika terjadi
kontradiksi antara dalil yang bersifat universal atau parsial. Dengan kata lain,
maqâshîd merupakan salah satu metode tarjih atau taufiq (kompromi) ketika terjadi
ta’arudh (kontradiksi) antara teks.
3
D. Pembagian Maqoshid al-Syari’ah
Berdasarkan tingkat kepentingannya, maqashid syariah bisa dibagi menjadi
dharuriat, hajiyat, tahsiniyat.
a. Dharuriyat
Adalah kemaslahatan yang sifatnya harus dipenuhi dan apabila tidak
dipenuhi, akan berakibat kepada rusaknya tatanan kehidupan manusia
dimana keadaan umat tidak jauh berbeda dengan keadaan hewan. Al-kulliyat
al-Khomsah merupakan contoh dari tingkatan ini yaitu memelihara agama,
nyawa, akal, nasab, harta dan kehormatan.
Syari‟at Islam diturunkan untuk memelihara lima pokok di atas. Dengan
meneliti nash yang ada dalam Al-Qur‟an, maka akan diketahui alasan
disyari‟atkannya suatu hukum. Misalnya, seperti dalam Firman Allah SWT.
Artinya : Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan
(sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti
(dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap
orang-orang yang zalim.(Q.S Al-Baqoroh : 193)
Dari ayat tersebut dapat diketahui tujuan disyariatkannya perang
adalah untuk melancarkan jalan dakwah bilamana terjadi gangguan dan
mengajak umat manusia untuk menyembah Allah.
b. Alhajiyat
Adalah kebutuhan umat untuk memeuhi kemashlahatanya dan menjaga
tatan hidupmya, hanya saja tatkala tidak terpenuhi tidak sampai
mengakibatkan rusaknya tatanan yang ada. Sebagian besar hal ini banyak
terdapat pada bab mubah dalam muamalah termasuk dalam tingkatan ini.
Contoh : Misalnya, Islam membolehkan tidak berpuasa bilamana dalam
perjalanan dalam jarak tertentu dengan syarat diganti pada hari yang lain dan
demikian juga halnya dengan orang yang sedang sakit.
c. Tahsiniyat
Adalah maslahat pelengkap bagi tatanan kehidupan umat agar hidup
aman dan tentram. Pada umumnya banyak terdapat dalam hal-hal yang
berkaitan dengan akhlak (makarimil akhalak) dan etika (suluk). Contohnya
adalah kebiasaan-kebiasaan baik yng bersifat umum maupun khusus.
Terdapat pula al-mashlahih mersalah yaitu jenis mashlahat yang tidak
dihukumi secra jelas oleh syariat. Bagi Imam Abu Asyur , maslhat ini tidakperlu diragukan lagi hujjahnya ,karena cara penetapatnya mempunyai
kesamaan dengan penetapan qiyas.
Contoh : - Pengeluaran untuk acara tertentu yng dibolehkan oleh syar’i
- Pengeluaran untuk membeli beberapa perlengkapan yang
memudahkan pekerjaan perempuan dirumah
No comments:
Post a Comment