Ta'lik talak adalah ucapan janji yang diutarakan oleh seorang suami kepada isterinya pada saat setelah selesai prosesi akad nikah. Di dalamnya terdapat perjanjian yang menyatakan bahwa seorang suami akan menggauli isterinya dengan baik. Selanjutnya juga perjanjian yang menyatakan bahwa apabila dikemudian hari suaminya melanggar janji, seperti meninggalkan isteri selama tiga bulan, atau tidak memberi nafkah wajib selama enam bulan, atau menyakiti badan jasmani, maka ia bersedia untuk menerima bayaran atau Iwadh dari isterinya sebagai pengganti talaknya, maka dengan demikian jatuhlah kepada istri tersebut talak satu.
Berikut adalah isi dari shigat Ta'lik talak, yang biasanya tercantum pada buku nikah:
“Sesudah akad nikah saya (nama pengantin laki-laki) bin (nama bapak pengantin laki-laki) berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan mempergauli isteri saya bernama ( nama pengantin perempuan) binti (nama bapak pengantin perempuan) dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) menurut ajaran Islam. Kepada isteri saya tersebut saya menyatakan sighat taklik sebagai berikut:
Apabila saya:
Meninggalkan isteri saya selama 2 (dua) tahun berturut-turut;
Tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 (tiga) bulan lamanya;
Menyakiti badan/jasmani isteri saya, atau
Membiarkan (tidak memperdulikan) isteri saya selama 6 (enam) bulan atau lebih;
dan karena perbuatan saya tersebut isteri saya tidak ridho dan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama, maka apabila gugatannya diterima oleh Pengadilan tersebut, kemudian isteri saya membayar Rp 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadh (pengganti) kepada saya, jatuhlah talak saya satu kepadanya. Kepada Pengadilan tersebut saya memberi kuasa untuk menerima uang iwadh tersebut dan menyerahkannya kepada Badan Amil Zakat Nasional setempat untuk keperluan ibadah sosial”
Perlu diketahui bahwa pengucapan Ta'lik talak ini bukan merupakan suatu kewajiban/keharusan dalam prosesi akad nikah, artinya bahwa ada dan tidak adanya pengucapan Ta'lik talak ini diserahkan kepada kedua belah pihak yang menikah (tergantung kesepakatan), jika pihak wali memandang harus dan perlu adanya pengucapan Ta'lik talak, maka petugas KUA Kecamatan mepersilahkan kepada pengantin laki-laki untuk mengucapkannya, jika ternyata dipandang tidak perlu maka tidak apa-apa. Walaupun demikian harus diingat pasal 46 ayat (3) KHI, yang menyatakan bahwa meskipun perjanjian Ta'lik talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali Ta'lik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali. Maka bagi pengantin laki-laki yang sudah mengucapkan Ta'lik talak akibatnya adalah ia terikat akan perjanjian tersebut.
Lantas bagaimana jadinya apabila dikemudian hari seorang suami melanggar terhadap perjanjian atau Ta'lik talak ini? Apakah status perkawinan mereka putus dengan sendirinya?
Menyikapi permasalahan ini, pertama, apabila merujuk pada ketentuan pasal 113 KHI tentang putusnya perkawinan, menyatakan bahwa suatu ikatan perkawinan dapat putus karena: Kematian, perceraian dan atas putusan Pengadilan Agama (pasal ini tidak menyebutkan pelanggaran Ta'lik talak penyebab putusnya perkawinan). Kedua, menurut pasal 46 ayat (2) yang menyatakan bahwa Apabila keadaan yang diisyaratkan dalam Ta'lik talak betul-betul terjadi kemudian hari, tidak dengan sendirinya jatuh talak. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, isteri harus mengajukannya ke Pengadilan Agama.
Maka dari kedua pasal di atas dapat dianalisis bahwa jika seorang suami melanggar Ta'lik talak, tidak akan dengan sendirinya terjadi talak apalagi putus tali perkawinannya, (kecuali isteri membawa permasalahan ini ke Pengadilan Agama). Hanya saja karena Ta'lik talak ini sama dengan perjanjian, sejatinya dalam suatu perjanjian pasti ada pihak yang merasa dirugikan, maka Ta'lik talak ini merupakan akses bagi isteri yang merasa dirugikan atas perlakuan suami kepada dirinya untuk menggugat suaminya ke Pengadilan Agama.
Lantas apa alasan yang mendasari adanya pengucapan Ta'lik talak?
Menurut salah seorang Kyai di Cirebon bahwa Ta'lik talak ini dilatarbelakangi oleh ketidakpastian hukum yang menimpa para isteri yang ditinggal pergi oleh suaminya dalam kurun waktu yang lama, tanpa ada kejelasan kabar, entah suaminya itu sudah meninggal atau belum. Kasus pertama yang paling besar adalah pada zaman kerajaan Mataram tepatnya pada abad ke 17 pada ekspedisi Sultan Agung Mataram yang mengirimkan pasukan ke Batavia dalam jumlah yang banyak dengan tujuan melawan Belanda yang mendarat di daerah itu. Singkat cerita pasukan Mataram terdesak mengakibatkan banyak prajurit Mataram gugur dalam medan pertempuran itu, di antara prajurit itu ada juga yang selamat, mereka yang selamat tidak pulang lagi ke daerahnya melainkan melangsungkan perkawinan lagi tanpa memberi tahu isteri sebelumnya. Kejadian demikian menjadi penyebab utama nasib para isteri yang ditinggalkan oleh prajurit Mataram menjadi janda dan terlantar, di samping sulit menerima informasi tentang status suaminya apakah gugur atau tidak. Para kyai Mataram yang bertanggungjawab atas kejadian ini juga tidak bisa menentukan apakah isteri-isteri prajurit itu sudah benar-benar menjadi janda sehingga boleh menikah lagi, ataukah belum dan justru harus menunggu kabar dari suaminya itu. Namun jika melihat daripada hukum fiqih klasik bahwa kejadian ini masuk dalam permasalahan suami yang hilang (Mafqud) konsekwensinya adalah seorang isteri harus menunggu sekurang-kurangnya empat tahun dan selama-lamanya sembilan tahun.
Demikianlah kasus persoalan janda Mataram yang dipandang sebagai persoalan publik sehingga timbul gagasan dari pihak pemerintah untuk membuat Ta'lik talak dengan tujuan mengantisipasi pelanggaran suami terhadap isteri.
0 Comments:
Post a Comment