Cinta dan Kasih Sayang tumbuh, Agama, Undang-undang bisa apa? : Hukum Perkawinan beda Agama

Kisah asmara dari sepasang insan selalu ingin berakhir di pelaminan, karena yang demikian merupakan pembuktian dibalut kenyataan. Ucapan janji suci oleh pengantin laki-laki bukti ingin memperistri. Ya, Perkawinan/pernikahan memang selalu menjadi dambaan setiap pasangan, (tidak berlaku bagi yang hamil di luar nikah) karena selain menyatukan dua insan yang berbeda, menghalalkan yang haram juga merupakan bukti ketaatan seorang hamba terhadap hukum Allah dan Sunah Rasulnya. Kendati demikian ibadah yang indah itu selalu diwarnai dengan berbagai macam permasalahan.


Permasalahan tentang pernikahan memang selalu menarik untuk dibicarakan, bukan tanpa alasan, melainkan dari berbagai permasalahan yang timbul itu selalu bertentangan dengan hukum, aturan dan ketentuan Agama maupun Undang-undang. Orang tua yang selalu menginginkan anaknya menikah dengan pasangan yang menurut mereka cocok/pas untuk menjadi pendamping anaknya, senantiasa menjadi bibit timbulnya permasalahan. Begitupun anak yang terkadang tidak bisa menerima pasangan yang disarankan orangtuanya, karena dirasa kurang cocok untuknya. 
Islam memberikan jalan kepada umatnya dalam hal memilih pasangan, sebagai contoh bahwa Islam memberikan kriteria/alasan kepada laki-laki dalam hal memilih seorang perempuan untuk dinikahi. Nabi bersada: Nikahilah perempuan karena empat perkara; Hartanya, kedudukannya, paras/kecantikannya dan karena agamanya, karena apabila tidak demikian niscaya kamu akan merugi. (HR. Muslim). Hadits di atas bisa dijadikan rujukan bagi para laki-laki dalam hal memilih pasangan/istri.
Kendati demikian perkembangan zaman selalu mengubah pemikiran masyarakat dulu/tradisional pada pemikiran masyarakat yang sekarang/modern. Permasalahan yang timbul di era sekarang adalah bagaimana apabila kriteria yang disebutkan dalam hadits di atas ada pada orang yang bukan beragama Islam. Jelasnya ialah bagaimana hukum pernikahan beda Agama? Bolehkah? Sah? atau bahkan sebaliknya?
Merujuk pada pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang menerangkan bahwa: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Sedangkan menurut pasal 4 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menerangkan bahwa: perkawinan sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam dan sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Islam sendiri melarang umatnya untuk menikah dengan orang yang bukan agama Islam karena dasar hukumnya sudah jelas di dalam Al-Quran, begitupun agama salain Islam juga melarang. Maka dengan demikian secara formal tidak dimungkinkan terjadinya perkawinan beda agama, karena masing-masing Agama melarang umatnya untuk melangsungkan perkawinan beda Agama dan juga Undang-undang tidak melindungi perkawinan antar Agama.
Selanjutnya memperkuat jawaban terkait permasalahan ini sebagaimana merujuk pada Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 4/MunasVII/MUI/8/2005. tentang Perkawinan beda Agama setelah menimbang beberapa hal, memutuskan bahwa: Pertama, perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. Kedua, perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab, menurut Qaul Mu'tamad adalah haram dan tidak sah.
Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa sudah jelas hukum perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah dan zina selamanya.
Kendati demikian, apabila cinta dan kasih sayang sudah tumbuh pada diri seseorang maka seolah tidak ada yang bisa menghalangi jalan cinta dan kasih sayangnya, termasuk aturan agama, artinya bahwa orang selalu mencari cara dalam memperjuangkan cinta untuk orang yang dicintainya, jelasnya tetap selalu ada saja perkawinan beda agama yang berlangsung dikala Agama dan Undang-undang tidak melegalkan. Maka sedikit saya utarakan bagaimana cara mereka yang berbeda agama masih tetap bisa menikah.
Orang yang berbeda agama tapi ingin melangsungkan perkawinan biasanya menempuh jalan mutasi Agama terlebih dahulu walaupun hanya untuk sementara. Artinya tindakan mutasi agama ini tidak lain dan tidak bukan hanya untuk memenuhi persyaratan pencatatan perkawinan Kantor Urusan Agama (KUA) semata. Salah seorang calon pengantin yang bukan beragama Islam terlebih dahulu melakukan upacara mutasi agama dihadapan pemuka agama setempat, sehingga keduanya tampak beragama Islam dan hasil pemeriksaan petugas KUA dinyatakan memenuhi syarat, walaupun nanti setelah prosesi pernikahannya ia kembali memeluk agama yang semula. Lalu perkawinannya dicatat secara resmi di KUA, tapi kemudian selang beberapa waktu dinikahkan lagi menurut aturan agama lain dan dicatat lagi di kantor lain (kantor catatan sipil). Mereka melakukan mutasi agama ini hanya untuk kepentingan perkawinannya semata, baik itu mutasi dari Islam ke non Islam pun sebaliknya.
Sungguh rumit memang jika melihat dari mutasi agama di atas, karena secara hukum fiqih apabila seseorang suami/istri yang mutasi agama, maka otomatis hukum perkawinannya batal dengan sendirinya.

Melihat fenomena ini akankah perkawinan beda agama dilegalkan? kita lihat saja nanti.
Terimakasih, semoga memberikan manfaat..

No comments:

Post a Comment