Kenapa shalat harus menghadap ke ka'bah?
Sering kali kita dihadapkan dengan sebuah pertanyaan seperti di atas, wajar saja bila ada orang yang bertanya seperti itu, karena demikian merupakan bukti bahwasannya manusia adalah makhluk yang berfikir dan ini juga merupakan bukti bahwa Allah memberikan akal dan fikiran kepada manusia untuk digunakan.
Menyikapi pertanyaan di atas barang tentu tidak terlepas dari awal dulu bagaimana prosesi Rosul mencontohkan shalatnya harus menghadap ka'bah. Maka di sini saya akan membahas sedikit banyaknya sejarah awal mula shalat menghadap ka'bah yang saya ambil dari beberapa sumber, agar kiranya dapat memberikan alasan dan jawaban atas pertanyaan di atas.
Baiklah kira-kira sejarahnya seperti ini:
1. Sejarah ka’bah
Di zaman sekarang ka’bah merupakan tempat peribadatan paling terkenal dalam islam, biasa disebut dengan baitullah, juga merupakan bagian penting bagi seorang muslim dalam melakukan ibadah. (Miftahudin, 2018). Dalam The Encyclopedia Of Religion dijelaskan bahwa banguna ka’bah ini merupakan bangunan yang dibuat dari batu-batu (granit) Makkah yang kemudian dibangun menjadi bangunan berbentuk kubus (cube-like building) dengan tinggi kurang lebih 16 meter dan lebar 11 meter. (Izzudin, 2017)
Batu-batu yang dijadikan bangunan ka’bah saat itu diambil dari lima sacred mountains, yakni: Sinai, al-judi, hira, olivet dan Lebanon. Nabi Adam AS dianggap sebagai peletak dasar bangunan ka’bah di bumi karena menurut yaqut al-hamawi (575 H/1179 M. Ahli sejarah dari irak) menyatakan bahwa bangunan ka’bah berada di lokasi kemah Nabi Adam AS setelah diturunkan Allah dari surga ke bumi. Setelah Nabi Adam AS wafat, bangunan itu diangkat ke langit. Lokasi itu dari masa ke masa diagungkan dan disucikan oleh umat para nabi.
Pada masa nabi Ibrahim AS dan putranya Nabi Ismail AS, lokasi itu digunakan untuk membangun sebuah rumah ibadah. Bangunan ini merupakan rumah pertama yang dibangun, berdasarkan QS. Ali-Imran: 96.
انَّ اَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِنّاَسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَرَكاً وَهُدًى لِلْعَالَمِيْنَ
“sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk tempat beribadah manusia ialah baitullah yang di bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia” (QS. Ali Imran:96)
Sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-Baqarah:125.
وَاِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِنَّاسِ وَاَمْنًا وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ اِبْرَاهِيْمَ مُصَلىً وَعَهِدْنَا اِلىَ اِبْرَاهِيْمَ وَاِسْمَاعِيْلَ اَنْ طَهَّرَا بَيْتِيَ لِطَّائِفِيْنَ وَالْعَاكِفِيْنَ وَالرُّكَّعِ السُّجُوْدِ
“Dan (ingatlah) ketika kami menjadikan rumah itu (baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebagian “maqom ibrahim” tempat shalat. Dan telah kami perintahkan kepada ibrahim dan ismail: “bersihkanlah rumahku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan sujud” (QS. Al-Baqarah:125)
Dalam pembangunan itu, Nabi Ismail AS. Menerima Hajar Aswad (batu hitam) dari malaikat jibril di Jabal Qubais, lalu meletakannya di sudut tenggara bangunan. Bangunan itu berbentuk kubus yang dalam bahasa arab disebut dengan Muka’ab. Dari kata inilah muncul sebutan ka’bah. Ketika itu ka’bah belum berdaun pintu dan belum ditutupi kain. Orang pertama yang membuat daun pintu ka’bah dan menutupinya dengan kain adalah Raja Tuba’ dari Dinasti Himyar (pra islam) di Najran (daerah Yaman).
Setelah nabi Ismail wafat, pemeliharaan ka’bah dipegang oleh keturunannya, lalu Bani Jurhum, lalu Bani Khuza’ah yang memperkenalkan penyembahan berhala. Selanjutnya pemeliharaan ka’bah dipegang oleh kabilah-kabilah Quraisy yang merupakan generasi penerus garis keturunan Nabi Ismail AS.
Menjelang kedatangan islam, ka’bah dipelihara oleh Abdul Muthalib, kakek Nabi Muhammad SAW. Ia menghiasi pintunya dengan emas yang ditemukan ketika menggali sumur zam-zam. ka’bah di masa ini, sebagaimana halnya di masa sebelumnya, menarik perhatian banyak orang. Abrahah gubernur Najran, yang saat itu merupakan bagian daerah kerajaan Habasyah (sekarang Ethopia) memerintahkan penduduk Najran, yaitu Bani Abdul Madan Bin Ad-Dayyan yang beragama nasrani untuk membangun tempat peribadatan seperti bentuk ka’bah di makkah untuk menyainginya. Bangunan itu disebut Bi’ah dan dikenal sebagai ka’bah Najran. ka’bah ini diagungkan oleh penduduk Najran dan dipelihara oleh para uskup.
Al-Quran memberikan informasi bahwa Abrahah pernah bermaksud menghancurkan ka’bah di makkah dengan pasukan gajah. Namun pasukannya itu lebih dulu dihancurkan oleh tentara burung yang melempari mereka dengan batu dari tanah berapi sehingga mereka menjadi seperti daun yang dimakan ulat.
Dalam firman Allah SWT. QS. Al-Fiil:1-5.
اَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيْلِ، اَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِيْ تَضْلِيْلٍ، وَاَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيْلَ، تَرْمِيْهِمْ بِحِجَارَةٍ مِّنْ سِجِّلٍ، فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُوْلٍ
“apakah kamu tidak memperhatikan bagaiman tuhanmu telah bertindak terhadap tentara gajah? Bukankah dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan ka’bah) itu sia-sia? Dan dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong. Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar. Lalu dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).” (QS. Al-Fiil:1-5)
ka’bah sebagai bangunan pusaka purbakala semakin rapuh dimakan waktu, sehingga banyak bagian-bagian temboknya yang retak dan bengkok. Selain itu makkah juga pernah dilanda banjir hingga menggenangi ka’bah dan meretakan dinding-dinding ka’bah yang memang sudah rusak.
Pada saat itu orang-orang Quraisy berpendapat perlu diadakan renovasi bangunan ka’bah untuk memelihara kedudukannya sebagai tempat suci. Dalam renovasi ini turut serta pemimpin-pemimpin kabilah dan para pemuka masyarakat Quraisy. Sudut-sudut ka’bah itu oleh Quraisy dibagi empat bagian, tiap kabilah mendapat satu sudut yang harus dirombak dan dibangun kembali.
Ketika sampai ke tahap peletakan Hajar Aswad mereka berselisih tentang siapa yang akan meletakannya. Kemudian pilihan mereka jatuh kepada seseorang yang dikenal sebagai al-amiin (yang jujur atau terpercaya) yaitu Muhammad Bin Abdullah (yang kemudian menjadi Rasulullah SAW). Setelah penaklukan kota makkah (Fathul Makkah), pemeliharaan ka’bah dipegang oleh kaum muslimin. Dan berhala-berhala sebagai lambang kemusyrikan yang terdapat disekitanyapun dihancurkan oleh kaum muslimin. (Izzudin, 2017).
Ka’bah, di masa pra islam adalah bangunan sebagai tempat penyembahan di mana bertaburan berhala-berhala. Risalah islam yang dibawa baginda Nabi Muhammad SAW. Menebas habis berhala-berhala tersebut, hingga bangunan ini dijadikan sebagai tempat ibadah dan dijadikan kiblat shalat. (Rakhmadi, 2017).
Baca Juga: Perbedaan Kiblat dan Ka'bah
2. Sejarah Perpindahan Arah Kiblat
Di zaman dulu sebelum Rasulullah SAW. Hijrah dari Makkah ke Madinah, belum ada ketentuan dari Allah SWT. tentang kewajiban menghadap ke arah kiblat bagi orang yang melakukan shalat. Rasulullah sendiri dalam melakukan shalat selalu menghadap ke baitul maqdis atau masjidil Aqsha sebagaimana dilakukan oleh nabi-nabi sebelumnya.
Hal ini dilakukan karena kedudukan baitul maqdis saat itu masih di anggap sebagai tempat paling suci, sedangkan ka’bah masih dikotori berhala-berhala yang ada di sekelilingnya.
Namun demikian dalam sebuah riwayat dijelaskan, meskipun Rasulullah SAW. dalam menjalankan shalat selalu menghadap ke baitul maqdis, beliau selalu menghadap ke baitullah atau masjidil haram ketika berada di Makkah sekaligus menghadap ke baitul maqdis dan dalam hatinya selalu memiliki kecenderungan untuk menghadap ke ka’bah.
Dengan demikian, ketika Rasulullah SAW. berada di Makkah, saat melaksanakan shalat selalu mengambil tempat di sebelah selatan ka’bah, sehingga dapat menghadap ke ka’bah sekaligus menghadap ke masjidil Aqsha. Akan tetapi permasalahan muncul ketika Rasulullah berada di Madinah karena tidak dapat menghimpun kedua kiblat tersebut.
Setelah sekitar 16 atau 17 bulan Rasulullah SAW. selalu shalat menghadap baitul maqdis kemudian turunlah wahyu Allah SWT. yang memerintahkan Rasulullah dan umatnya untuk shalat menghadap ka’bah. Hal inilah yang menyebabkan banyak orang Islam yang kadar keimanannya lemah memilih kembali kepada kekafirannya dan orang-orang Yahudi sangat benci kepada Rasulullah, karena mereka menganggap bahwa tidak ada tempat paling suci selain baitul maqdis yang merupakan sumber agama yang di bawa oleh para nabi keturunan Israil (Mujab, 2015).
Baca Juga: Cara menghitung dan menentukan arah kiblat dengan rumus Trigonometri
Namun demikian, sebenarnya baitul maqdis dan baitullah di sisi Allah adalah sama mulianya. Pemindahan arah kiblat tersebut hanyalah sebagai ujian ketaatan bagi umat manusia kepada Allah SWT. dan Rasulnya.
Hal yang paling penting dilakukan dalam ibadah shalat adalah ketulusan hati dalam menjalankan perintahnya, dengan kerendahan hati memohon petunjuk jalan yang lurus kepadanya. Karena pemaknaan arah kiblat bukanlah baitul maqdis atau ka’bah (karena keduanya di sisi Allah sama), akan tetapi urgensi dari pemaknaan kiblat adalah ketulusan dan kerendahan hati dalam menghadap dan menyembah Allah SWT.
Sebagaimana dijelaskan di atas, setelah kurang lebih 16 atau 17 bulan Rasulullah SAW. berada di Madinah dan selalu shalat menghadap ke baitul maqdis, akhirnya turunlah wahyu Allah SWT. yang memerintahkan Rasulullah SAW. dan umatnya untuk memindahkan kiblat mereka dari baitul maqdis ke baitullah atau masjidil haram sebagai respon atas do’a dan keinginan Rasulullah SAW. untuk menghadap ke ka’bah.
Pada waktu itu tepatnya pada bulan Rajab tahun 2 H, Rasulullah SAW. sedang melaksanakan shalat dzuhur berjamaah bersama para sahabat, lalu turunlah wahyu QS. Al Baqarah ayat 144 untuk memindahkan kiblat dari baitul maqdis ke baitullah, lalu Rasulullah SAW. Berputar 180 derajat ke arah ka’bah (mengambil arah kanan) dan diikuti oleh para sahabat. Saat itu Rasulullah melaksanakan shalat di masjid Bani Salamah. Maka pasca kejadian itu masjid ini terkenal dengan sebutan masjid Qiblatain karena mempunyai dua arah kiblat, pertama kiblat ke baitul maqdis (sekarang sudah ditutup) kedua arah kiblat ke ka’bah (yang sekarang). Lalu pasca peristiwa itu juga tidak semua para sahabat ikut berjamaah dengan Rasulullah, yang mengakibatkan sebagian dari mereka ada yang belum tahu bahwa arah kiblat sudah berpindah, namun pada akhirnya mereka juga diberi tahu oleh para sahabat lainnya, sehingga sampai dengan sekarang bahwa menghadap kiblat itu menghadap ke baitullah (ka’bah) yang berada di kota Makkah.
Baca Juga: 6 Langkah mudah menentukan arah kiblat dengan kompas dan busur derajat
0 Comments:
Post a Comment