Media Sharing, Informasi masalah Hukum, Keislaman, Tips dan Bisnis

Sejarah Perkembangan Ilmu Ushul Fiqh

 


a. Ushul Fiqh di Masa Periode Nabi Muhammad SAW

 Pada masa Rasulullah masih hidup sesungguhnya konsep-konsep ushul 

fiqh banyak ditemukan walaupun masih dalam konsep sederhana mengingat 

pada waktu itu hal tersebut belum dibukukan.

Ada beberapa contoh yang bisa menjadi sedikit gambaran:

1. Ijtihad: Ketika 2 orang sahabat yang bepergian, tatkala waktu sholat tiba, 

mereka tidak menemukan air wudhu dan kemudian bertayamum dengan debu 

yang suci. Lalu mereka menemukan air ketika sholat belum habis, dan seorang 

diantara mereka mengambil wudhu untuk mengulang sholatnya sedangkan 

yang satunya lagi tidak. Lalu setelahnya mereka bertanya pada Nabi SAW, lalu 

beliau menjawab kepada yang tidak mengulang bahwa sholatnya telah 

mencukupi, dan kepada yang mengulang dia mendapat dua pahala

Kesimpulan : Rasulullah membenarkan dua macam hasil ijtihad sahabatnya.

2. Qiyas : Ketika ada perempuan yang datang ke nabi yang bercerita tentang 

ibunya yang meninggal dan meninggalkan hutang puasa satu bulan, nabi tidak 

menjawab ya atau tidak untuk dibayarkan, tetapi beliau mengqiyaskan 

terhadap utang piutang, utang puasa orang tua yang sudah meninggal 

disamakan dengan utang piutang harta.

Kesimpulan : Peristiwa tersebut dikemudian hari menjadi bentuk dasar Qiyas, 

yang oleh Imam Syafi’I prosedurnya dibakukan.

3. Tempat jauh dari nabi : Tidak semua sahabat bisa merujuk langsung kepada 

nabi, Muaz bin Jabal diantaranya, Nabi SAW membenarkan ijtihad Muaz dalam persoalan-persoalan yang tidak bisa ditemui ketentuannya dalam Al-

Qur’an dan As-Sunnah.

b. Ushul Fiqh Dimasa Para Sahabat

 Pada masa ini kajian tentang fiqh mulai dirumuskan, yaitu setelah 

wafatnya Rasulullah SAW. Sebab pada masa hidupnya Rasulullah SAW, 

semua persoalan hukum yang timbul diserahkan kepada Beliau. Meskipun 

satu atau dua kasus hukum yang timbul terkadang disiasati para sahabat Beliau 

dengan ijtihad , tetapi hasil akhir dari ijtihad tersebut, dikembalikan kepada 

Rasulullah SAW. Hal ini karena Rasulullah SAW adalah satu-satunya 

pemegang otoritas kebenaran Agama, melalui wahyu yang diturunkan kepada 

Beliau.

 Pada Periode Sahabat, dalam melakukan ijtihad untuk melahirkan 

hukum, pada hakikatnya para sahabat menggunakan ushul fiqh sebagai alat 

untuk berijtihad. Hanya saja, ushul fiqh yang mereka gunakan baru dalam 

bentuknya yang paling awal, dan sebelum banyak terungkap dalam rumusan-

rumusan sebagaimana yang kita kenal sekarang. Contoh cikal bakal ilmu ushul 

fiqh yang terdapat pada masa Rasulullah SAW dan masa sahabat, antara lain 

berkaitan dengan ketentuan urutan penggunaan sumber dan dalil hukum, 

sebagai bagian dari ushul fiqh.

 Langkah-langkah yang ditempuh para sahabat apabila menghadapi 

persoalan hukum ialah menelusuri ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang 

masalah tersebut. Apabila tidak ditemukan hukumnya dalam Al-Qur’an maka 

merke mencarinya di dalam sunnah. Apabila didalam sunnah pun tidak 

ditemukan barulah mereka berijtihad.

c. Ushul Fiqh di Masa Periode Tabi’in

 Masa Tabi’in adalah masa sesujdah masa para sahabat, yang sebelumnya 

para Tabi’in ini belajar kepada para sahabat. Pada masa ini Islam sudah mulai 

menyebar di berbagai kawasan yang cukup jauh dari wilayah ketika nabi dan 

para sahabat menetap diantaranya : Nafi, Ikrimah, Atha’ bin Rabbah 

(Makkah), Thawus (Yaman), Ibrahim Al-Nakh’ai (Kuffah), Hasan Al-Basri 

dan Ibnu Sirrin (Basrah).

 Luasnya wilayah ini di masa Tabi’in akan menjadi salah satu unsur 

penting dalam dasar pemikiran penetapan hukum dan mempengaruhi pola 

pemikiran penetapan hukum.Yang akhirnya ada beberapa penyimpangan diantaranya:

Pemalsuan Hadist

 Perbedaan pendapat tentang ra’yu yang melahirkan kelompok Iraq (al-

Ra’yu) dan kelompok Madinah. (Ahl al-Hadist). 

 Selain hal tersebut diatas, lahirnya tokoh hukum baru dari kalangan non 

Arab, semakin menambah berbagai pehamaman dasar pemikiran dan 

perbedaan pendapat yang cukup tajam, yang kemudiab memunculkan 

madzhab-madzhab hukum Islam, yang masing-masing memilki metode 

sendiri yang saling berbeda dengan yang lainnya.

d. Ushul Fiqh di Masa Iman Madzhab

 Pada masa Tabi’in, tabi’in-tabi’in dan para imam mujtahid, disekitar abad 

II dan III Hijiriah wilayah kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas, 

sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan bangsa 

Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragama pula situasi dan kondisi serta 

adat istiadatnya. Dengan semakin tersebarnya agama Islam dikalangan 

penduduk dari berbagai daerah tersebut, menjadikan semakin banyak 

persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak didapati ketetapan 

hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Untuk itu para ulama yang 

tinggal di berbagai daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya. Karena 

banyaknya persoalan-persoalan hukum yang timbul dan karena pengaruh 

kemajuan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang yang berkembang dengan 

pesat yang terjadi pada masa ini, kegiatan ijtihad ini mencapai kemajuan yang 

besar dan lebih bersemarak.

 Pada masa ini juga semakin banyak terjadu perbedaan dan perdebatan 

antara para ulama yang mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang 

ditempuhnya. Perbedaan dan perdebatan tersebut, bukan saja antara ulama 

satu daerah dengan daerah yang lain, tetapi juga antara para ulama yang sama-

sama tinggal dalam satu daerah. Kenyataan-kenyataan diatas mendorong para 

ulama untuk menyusun kaidah-kaidah syari’ah yakni kaidah-kaidah yang 

bertalian dengan tujuan dan dasar-dasar syara’ dalam menetapkan hukum 

dalam berijtihad.

 Demikian pula dengan semakin luasya daerah kekuasaan Islam dan 

banyknya penduduk yang bukan bangsa Arab memeluk agama Islam. Maka 

terjadilah pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka. Dari pergaulan 

antara orang-orang Arab dengan mereka itu membawa akibat terjadinya 

penyusupan bahasa-bahasa mareka ke dalam bahasa Arab, baik berupa ejaan,kata-kata maupun dalam susunan kalimat, baik dalam ucapan maupun tulisan. 

Keadaan yang demikian itu, tidak sedikit menimbulkan keraguan dan 

kemungkinan kemungkinan dalam memahami nash-nash syara’. Hal ini 

mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah lughawiyah (bahasa), 

agar dapat memahami nash-nash syara sebagaimana dipahami oleh orang-

orang Arab sewaktu turun atau datangnya nash-nash tersebut.

B. Latar Belakang Terbentuk dan Tumbuh Berkembangnya Ilmu

 Ushul Fiqh

 Ilmu Ushul Fiqh, lahir sejak abad ke-2 H. Ilmu tersebut, pada abad 

pertama Hijriyah memang tidak diperlukan karena keberadaan Rasulullah 

SAW. Masih bisa mengeluarkan fatwa dan memutuskan suatu hukum 

berdasarkan ajaran Al-Qur’an, sunnah dan apa yang diwahyukan kepada 

beliau. Disamping itu secara fithri, ijtihad Rasl tidak memerlukan Ushul dan 

kaidah-kaidah yang dijadikan sebagai istinbat dan ijtihad. Begitu pula dengan 

para sahabat, mereka memberikan fatwa hukum dan memutuskan suatu 

keputusan berdasarkan pada nash-nash yang dipahami lantaran kemampuan 

potensial mereka dibidang bahasa arab yang benar, tanpa memerlukan kaidah-

kaidah bahasa yang dapat dijadikan sebagai dasar pemahaman nash. Para 

sahabat juga melakukan istinbat terhadap hukum yang tidak ada nashnya 

berdasarkan kemampuan potensial mereka dalam membina hukum syariat 

Islam yang terpusat di dalam jiwa mereka yang disebabkan akrabnya mereka 

dengan Rasulullah di dalam pergaulan. Selain itu, para sahabat juga ikut 

menyaksikan sebab-sebab turunnya Al-Qur’an dan sebab-sebab 

dikeluarkannya hadist, serta memahami maksud dan tujuan syari’ (pembuat 

hukum, yakni Allah) disamping prinsip-prinsip pembentukan hukum Islam.

 Demikian setelah waktu lama dari awal pembentukan hukum Islam, 

banyak terjadi perdebatan antara Ahli Hadist dan Ahli Ra’yu. Banyak juga 

orang yang hanya berdasarkan keberanian mengeluarkan suatu hujjah yang 

tidak pantas sebagai hujjah, bahkan menolak hujjah yang sebenarnya. Kondisi 

ini mendorong peletakan batasan-batasan dan bahasa tentang dalil syar’iyyah 

dan syarat-syarat atau cara menggunakan dalil-dalil. Seluruh pembahasan tentang 

penggunaan dalil, batasan-batasan atau kaidah-kaidah bahasa ini yang disebut sebagai 

imu ushul fiqh.

 Namun, ilmu tersebut tumbuh dalam kondisi yang sangat sederhana. 

Kemudian, secara bertahap ilmu tersebut tumbuh semakin meningkat 

sehingga mencapai usia 200 tahun. Sejak itu, mulailah ilmu itu berkembang dengan pesatnya, tersebar dan memencar bersama berkembangnya hukum 

fiqh, sebab setiap Imam mujtahid, baik Imam yang empat atau yang lainnya, 

selalu memberi petunjuk dengan dalil hukum yang disertai dengan Ilmu Ushul 

Fiqh dan arahan pengambilan dalil dengan ilmu itu juga. Sedang para mujtahid 

yang tidak menggunakan cara tersebut, berarti telah membuat hujjah dengan 

jalan yang menyimpang. Padahal, semua pengambilan dalil dan penggunaan 

hujjah selalu mengandung kaidah-kaidah Ushul.

 Orang pertama yang menghimpun kaidah-kaidah yang berserakan itu, 

ialah Iman Abu Yusuf, seorang pengikut setia Imam Abu Hanifah. Hal ini, 

dikatakan oleh Ilmu Nadim dalam kitabnya yang bernma Al Fahrasat. Namun 

yang sangat disayangkan catatan –catatan tersebut tidak sampai ke tangan kita. 

Oleh ahli ushul fiqh dianggap yang pertama mengumpulkan dan menyusun 

ilmu ini adalah Imam Syafi’i dalam kitabnya yang bernama Ar-Risalah. Dan 

setelah itu, muncullah para penulis lain yang melengkapi dan 

menyempurnakannya seperti Imam Ghazali dalam kitabnya yang bernama 

Al-Mustasyfa, Al-Amidi dalam kitabnya yang bernama AL-Minhaj yang 

disyararkan oleh Asnawi.

 Dari kalangan madzhab Hanafi yang terkenal Abu Zaid Al Dabbas dalam 

kitabnya yang bernama Ushul, Fadhul Islam Al-Badhawi dalam kitabnya yang 

bernama Ushul dan Nasafi dalam kItabnya yang bernama AL Manar. 

Disamping itu lahirlah pula kitab yang bernama Badi’un Nizam Al Jami Baina 

Badzawi wal’itisom oleh Muzafaruddin AL-Baghdadi Al Hanafi, kitab tafsir 

oleh Kamal bin Humam dan kitab Jam’ul Jawani oleh Ibnu Subki. Di abad 

sekarang ini ada pula beberapa buah kitab yang ditulis oleh beberapa ulama’, 

diantaranya kitab Irsyadul Fuluh oleh Syaukani, kitab Ushul Fiqh oleh Hudari 

Bek, kitab Tahsilul Wushul oleh Muhammad Abdurrahman Mahlawi. Dan 

masih banyak kitab-kitab Ushul Fiqh yang lainnya.

C. Peletak Dasar Ilmu Ushul Fiqh

Imam Syafi’i merupakan penyusun ilmu ushul fiqh secara sistematis ilmu 

fikqhnya terpadukan dengan hadist. Muhammad AL-Hasan, salah seorang 

gurunya. Mengatakan, jika para ahli hadist bercakap-cakap maka percakapan 

mereka sesungguhnya melalui lidah Imam al-Syafi’i. Ilmu percakapan mereka 

sesungguhnya melalui lidah Imam Al-Syafi’i. Ilmu fikihnya terpadukan 

dengan hadis. Beliau pernah mengatakan untuk para ulama mujtahid. Jika ada 

hadist shahih, maka itu madzhabku. Ucapan yang ditujukan kepada ulama 

mujtahid madzhab ini menunjukkan kepada para ulama bahwa Imam Syafi’i

sangat memperhatikan posisi hadist. Kaidah-kaidah fiqh tidak lepas dari Al-

Qur’an dan Al-Hadist.

Imam Syafi’i dilahirkan di Bumi Palestina. Tepatnya dikota Gazza pada 

tahun 105 H. Ia seorang keturunan Bani Quraisy. Nasabnya bertemu dengan 

Rasulullah SAW. Rantai silsilahnya adalah, Abu Abdullah bin Idris bin Al-

Abbas Ustman bin Syafi’i bin Al-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim 

bin Al-Muttalib bin Abdul Manaf. Dikisahkan, bahwa Imam Syafi’i dilahirkan 

pada malam Imam Abu Hanifah meninggal dunia. Seorang iman meninggal 

dunia dan saat itu pula lahir seorang iman yang lain. Imam al-Syafi’i lahir dari

keluarga tidak mampu di Palestina. Mereka hidup didalam perkampungan 

yang mayoritas dihuni oleh orang-orang Yaman. Ayahnya meninggal dunia 

ketika beliau masih kecul.

Sejak kecil beliau sudah mendalami bahasa Arab dan gramatikanya. Karena 

itu, ia pernah tinggal bersama suku Huzail selama 10 tahun untuk mempelajari 

bahasa. Suku Huzaili terkenal sebagai suku yang paling baik bahasa Arabnya. 

Imam Al-Syafi’i banyak menghafal banyak syair fan kasidah dari Bani Huzail 

ini. Beliau mengembara ke berbagai negeri untuk mempelajari Islam. Pertama 

ke Makkah, Madinah, Irak dan Yaman. Salah satu guru besar utamanya adalah 

Imam Malik. Kepada Imam Malik beliau belajar langsung di Madinah hingga 

Imam Malik meninggal dunia.

Guru-gurunya yang lain adalah dari Makkah: Muslim bin Khalid al-Zinji, 

Sufyan bin Uyainah, Said bin Al-Kudah, Daud bin Abdurrahman, Al-Attar 

dan Abdul Hamid bin Abdul Aziz bin Muhammad al-Dawardi, Ibrahim bin 

Yahya al-Usami, Muhammad Said bin Abi Fudaik dan Abdullah bin Nafi’ al-

Saigh di Yaman: Matraf bin Mazin, Hisyam bin Yusuf, Umar bin Abi 

Maslamah dan Abi Laith bin Sa’ad.

Dari Irak: Muhammad bin Al-Hasan, Waki’ bin al-Jarrah al-Kufi,Abu Usamah 

hamad bin Usamah, Ismal bin Attlah Al-Basri dan Abdul Wahhab bin Abdul 

Masjid Al-Basri.

Share:

Maqosid Asyariah


 Pengertian Maqhosid al-Syari’ah

Ditinjau dari segi bahasa, kata maqashid merupakan jama‟ dari kata maqshid

yang berarti kesulitan dari apa yang ditujukan atau dimaksud. Secara akar bahasa

maqashid berasal dari kata qashada, yaqshidu, qashdan, qashidun, yang berarti

keinginan yang kuat, berpegangteguh, dan sengaja. Dalam kamus Arab-Indonesia, kata

maqshid diartikan dengan menyengaja atau bermaksud kepada (qashada ilaihi).

Sedangkan kata syari‟ah adalah mashdar dari kata syar‟ yang berarti sesuatu

yang dibuka untuk mengambil yang ada di dalamnya, dan syari‟ah adalah tempat

yang didatangi oleh manusia atau hewan untuk minum air. Selain itu juga berasal dari

akar kata syara‟a, yasyri‟u, syar‟an yang berarti memulai pelaksanaan suatu

pekerjaan. Kemudian Abdur Rahman mengartikan syari‟ah sebagai jalan yang harus

diikuti atau secara harfiah berarti jalan ke sebuah mata air

Sementara itu, Al-Syatibi mengartikan syari‟ah sebagai hukum- hukum Allah

yang mengikat atau mengelilingi para mukallaf, baik perbuatan-perbuatan,

perkataan-perkataan maupun i‟tiqad-i‟tiqad-nya secara keseluruhan terkandung di

dalamnya.

Dengan menggabungkan kedua kata di atas, maqashid dan syari‟ah, serta

mengetahui arti secara bahasa, maka secara sederhana maqashid al-syari‟ah dapat

didefinisikan sebagai maksud atau tujuan Allah dalam mensyariatkan suatu hukum.

Sedangkan menurut istilah, maqashid al-syari‟ah dalam kajian tentang hukum

Islam, al-Syatibi sampai pada kesimpulan bahwa kesatuan hukum Islam berarti

kesatuan dalam asal-usulnya dan terlebih lagikesatuan dalam tujuan hukumnya.

Untuk menegakkan tujuan hukum ini, al-Syatibi mengemukakan konsepnya tentang

maqashid al syari‟ah, dengan penjelasan bahwa tujuan hukum adalah satu yakni

kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.

Maqashid al Syari‟ah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan

hukum-hukum Islam. Tujuan itu dapat dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Qur‟an

dan Sunnah Rasulullah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang

berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.

Dengan demikian, semakin jelaslah bahwa, baik secara bahasa maupun

istilah, maqashid al syari‟ah erat kaitannya dengan maksud dan tujuan Allah yang

terkandung dalam penetapan suatu hukum yang mempunyai tujuan untuk

kemaslahatan umat manusia.

B. Ulama dan Perkembangan Maqhosid al-Syari’ah

Sejak wafat al-Syatibi, kajian Maqashid Syariah mengalami kemandekan. Setelah

itu belum ditemukan lagi karya original tentang Maqashid Syariah. Kajian ini mulai

diperbincangkan lagi pada abad 19. Muhammad Abduh, ulama dari Mesir, termasuk

tokoh pertama yang mempopulerkan nama al-Syatibi, dan meminta kepada

murid-muridnya untuk mengkaji, mentahqiq, dan mempublikasikan kitab al-Muwafaqat karya al-SyatibiPermintaan Muhammad Abduh itu disambut baik

beberapa tokoh di Tunisia. Kitab al-Muwafaqat diterbitkan ulang pertama kali di

Tunisa tahun 1302 H. Pandangan Abduh tentang pentingnya Maqashid Syari’ah

mempengaruhi Al-Thahir Ibnu Asyur untuk mendalami kajian ini. Bila Al-Syatibi

dianggap guru pertama (mu’allim al-awwal) dalam kajian Maqashid Syari’ah, Ibnu

Asyur dapat dikatakan sebagai guru kedua (Mu’allim al-Tsani).

2

Ibnu Asyur menulis buku berjudul Maqashid Syari’ah Islamiyyah. Buku ini

sangat kontroversi, karena Ibnu Asyur mengkritik keras Ushul Fikih. Bahkan, penulis

tafsir Tahrir wa Tanwir ini menganggap Ushul Fikih sudah tidak relevan dan tidak

perlu digunakan lagi. Bangunan pemikiran Ushul Fikih yang berkembang lebih fokus

pada kajian kebahasaan dan melupakan substansi dari hukum Islam itu sendiri.

Abdullah Darraz dalam pengantarnya tarhadap kitab al-Muwafaqat menegaskan

ushul fikih itu sebetulnya ada dua bagian: ilmu kebahasaan dan ilmu rahasia/tujuan

syariat (asrar syariat), tapi sayangnya yang berkembang justru yang pertama,

sementara kajian yang kedua (ilmu asrar syariat) tidak terlalu diperhatikan.

Karena itu, menurut Ibnu Asyur kajian Ushul Fikih perlu diganti dengan

Maqashid Syariah. Kajian Maqashid Syariah harus dipisahkan dari Ushul Fikih dan

berdiri sendiri agar semakin berkembang. Maqashid Syariah tidak sekedar teori

Ushul Fikih, lebih dari itu, Maqashid Syariah dapat dikatakan sebagai ilmun

mustaqilllun (ilmu yang berdiri sendiri).

Pemikiran Ibnu Asyur ini berkontribusi besar terhadap kemunculan tokoh dan

pengkaji Maqashid Syariah di era kontemporer. Di antara ulama kontemporer yang

mengembangkan kajian ini adalah Allal Alfasi, Thaha Jabir al-Ulwani, Yusuf

al-Qaradhawi, Hashim Kamali, Ahmad Raysuni, Abdul Madjid al-Najjar, Jasser Auda,

dan lain-lain.

C. Urgensi Maqhosid al-Syari’ah

Adapun urgensi maqashid syariah, khususnya bagi seorang mujtahid, ahli hukum

Islam atau peneliti, Muhammad az-Zuhaili merangkumnya menjadi lima poin berikut,

yaitu

Pertama, maqashid bisa dijadikan alat bantuan bagi mereka untuk mengetahui

hukum syariah, baik yang bersifat universal (kulliyyah) maupun parsial (juz’iyyah),

dari dalil-dalil yang pokok dan cabang.

Kedua, maqashid dapat membantu mereka dalam memahami teks-teks syariat dan

menginterpretasikannya dengan benar, khususnya dalam tataran implementasi teks

ke dalam realitas.

Ketiga, maqashid dalam membantu mereka dalam menentukan makna yang

dimaksud oleh teks secara tepat, khususnya ketika berhadapan dengan lafazh yang

memiliki lebih dari satu makna.

Keempat, ketika tidak mendapati problematika atau kasus kontemporer yang tidak

ditemukan teks berbicara tentangnya, mujtahid atau ahli hukum Islam bisa merujuk   

ke maqâshîd syari’ah dengan menetapkan hukum melalui ijtihad, qiyas, istihsan,

istishlah dan lain sebagainya sesuai dengan ruh, nilai-nilai agama, tujuan dan

pokok-pokok syariat.

Kelima, maqashid syariah dapat membantu seorang mujtahid, hakim dan ahli

hukum Islam dalam melakukan tarjih dalam masalah hukum Islam ketika terjadi

kontradiksi antara dalil yang bersifat universal atau parsial. Dengan kata lain,

maqâshîd merupakan salah satu metode tarjih atau taufiq (kompromi) ketika terjadi

ta’arudh (kontradiksi) antara teks.

3

D. Pembagian Maqoshid al-Syari’ah

Berdasarkan tingkat kepentingannya, maqashid syariah bisa dibagi menjadi

dharuriat, hajiyat, tahsiniyat.

a. Dharuriyat

Adalah kemaslahatan yang sifatnya harus dipenuhi dan apabila tidak

dipenuhi, akan berakibat kepada rusaknya tatanan kehidupan manusia

dimana keadaan umat tidak jauh berbeda dengan keadaan hewan. Al-kulliyat

al-Khomsah merupakan contoh dari tingkatan ini yaitu memelihara agama,

nyawa, akal, nasab, harta dan kehormatan.

Syari‟at Islam diturunkan untuk memelihara lima pokok di atas. Dengan

meneliti nash yang ada dalam Al-Qur‟an, maka akan diketahui alasan

disyari‟atkannya suatu hukum. Misalnya, seperti dalam Firman Allah SWT.

Artinya : Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan

(sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti

(dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap

orang-orang yang zalim.(Q.S Al-Baqoroh : 193)

Dari ayat tersebut dapat diketahui tujuan disyariatkannya perang

adalah untuk melancarkan jalan dakwah bilamana terjadi gangguan dan

mengajak umat manusia untuk menyembah Allah.

b. Alhajiyat

Adalah kebutuhan umat untuk memeuhi kemashlahatanya dan menjaga

tatan hidupmya, hanya saja tatkala tidak terpenuhi tidak sampai

mengakibatkan rusaknya tatanan yang ada. Sebagian besar hal ini banyak

terdapat pada bab mubah dalam muamalah termasuk dalam tingkatan ini.

Contoh : Misalnya, Islam membolehkan tidak berpuasa bilamana dalam

perjalanan dalam jarak tertentu dengan syarat diganti pada hari yang lain dan

demikian juga halnya dengan orang yang sedang sakit.

c. Tahsiniyat

Adalah maslahat pelengkap bagi tatanan kehidupan umat agar hidup

aman dan tentram. Pada umumnya banyak terdapat dalam hal-hal yang

berkaitan dengan akhlak (makarimil akhalak) dan etika (suluk). Contohnya

adalah kebiasaan-kebiasaan baik yng bersifat umum maupun khusus.

Terdapat pula al-mashlahih mersalah yaitu jenis mashlahat yang tidak

dihukumi secra jelas oleh syariat. Bagi Imam Abu Asyur , maslhat ini tidakperlu diragukan lagi hujjahnya ,karena cara penetapatnya mempunyai

kesamaan dengan penetapan qiyas.

Contoh : - Pengeluaran untuk acara tertentu yng dibolehkan oleh syar’i

- Pengeluaran untuk membeli beberapa perlengkapan yang

memudahkan pekerjaan perempuan dirumah

Share:

Definition List

Unordered List

MagPress-banner-728×90

Support